Monday, March 8, 2010

50 ways

Friday, January 22, 2010

Monday, October 5, 2009

....sebuah piket

..::jadwal::..

- Petugas khusus sampah dan serangga adalah mas Eka (tidak dapat diganggu gugat).

- Petugas piket kuras KMCK adalah:

Minggu I;

Minggu: Ahmad & Eka

Rabu : Eko Cino & Rendra

Minggu II;

Minggu: Puput & Dono

Rabu : Lanang & Agus

Minggu III;

Minggu: Agung Lampung & Alim

Rabu : Eko Kaltim & Mas Agung

Minggu IV;

Minggu: Ahmad, Eka, Lanang, Agus, Eko Kaltim & Mas Agung

Rabu : Eko Cino, Rendra, Puput, Dono, Agung Lampung, & Alim

Jadwal diatas dibuat untuk dilaksanakan. Jika nggak mau atau terlewatkan, maka akan didenda Rp. 5000/@. Hal-hal yang mengenai perubahan jadwal petugas d.l.l., diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Djogdjakarta,

Hari 5 boelan 10 tahoen 09

Atas nama Anggrek 4c Manajemen


Friday, June 26, 2009

Boyongan.....

woro-woroooooo!!!!!

Sedulur kabeh,
Gandeng siji lan liyo alesan kang gegayutan karo masalah teknis...markas yayasan kanada saiki dipindah menyang panggon kang luwih prayoga lan luwih samubarange...yoiku neng dalan Affandi (Gejayan) gang Anggrek No. 4 C/ 498, mburi Foto Sampurna dalan Gejayan. Yen isih kurang cetho nilpun wae neng 081 328 115 388 or 081 328 363 319 (RT) mengko tak pethuk...yen aku ora repot.

Mengkono informasi gegandengan karo kahanan yayasan kanada kang anyar dewe. Matur nuwun.

Salam taklimku,
~eka~

Wednesday, December 24, 2008

djokdjabulary - A-Z soal Jogja

A : Andhong

Lupakan dulu ergonomi dan efisiensi. Bagi andhong, yang penting adalah citra priyayi. Rodanya saja empat. Jelas tak se-efisien bendi atau sado, delman atau cidomo. Dengan garis desain ornamental, bodi andhong memancarkan citra aristokrat. Prioritasnya memang bukan kelincahan atau keandalan dalam balapan, tapi tampilan serupa kereta bangsawan. Soal dayaguna, itu nomer dua. Karena gaya adalah segalanya! Andhong (juga becak) tak menghasilkan karbonmonoksida. Kontribusi keduanya dalam jaringan transportasi publik di Jogja kian terjepit, tapi bukan oleh bis kota (apalagi kereta subway atau monorail) yang lebih nyaman dan murah bagi warga kota. Melainkan akibat makin merajalelanya kendaraan pribadi, yang kian jawara dalam memproduksi polutan sekaligus kemacetan.

B : Bajigur
1. Sejenis minuman; paduan antara kopi, gula dan santan kelapa.
2. Semacam umpatan yang diperhalus.
Ya, di Jogja umpatan pun kadang perlu ditundukkan dalam tata krama. Sebab tujuannya bukanlah mencaci-maki kondisi lewat sarkasme. Yang lebih mendesak justru upaya menyiasati kondisi, atau bahkan menertawakannya. Nah "bajigur!" diharapkan berperan penting dalam proses menciptakan pandangan kritis dan membangun alternatif.
Bajigur sebagai minuman dapat dijumpai antara lain di Bakmi Kadin, Bintaran.
Bajigur sebagai umpatan ringan muncul dimana-mana.
Bajigur tenan..!

C : Cum laude
Menurut indeks prestasi (IP)-nya, mahasiswa Jogja terbagi atas tiga golongan. Pertama, cum laude. Mahasiswa berpredikat ini punya IP diatas rata-rata. Biasanya diatas 3 koma 5. Saat wisuda, mereka memakai slempang kuning sebagai lambang kedigjayaan. Kedua, PMDK. Ini bukan golongan mahasiswa yang melenggang bebas ke universitas lantaran berotak kinclong dan berbakat. PMDK adalah Persatuan Mahasiswa Dua Koma. Jika Kartu Hasil Studimu menunjuk angka 2 koma sekian maka kamu termasuk dalam golongan ini. Ketiga, Nasakom. Bukan Nasionalis, Agama, dan Komunis ala Bung Karno melainkan Nasib Satu Koma. Mereka adalah mahasiswa ber-IP dibawah dua. Biasanya kaum Nasakom merupakan kaum yang sabar dan setia dengan kuliahnya.

D : Djaka Lodhang
Bukan DJ a.k.a Lodhang atawa Disc Jockey As Known As Lodhang. Djaka Lodhang adalah satu dari sedikit majalah berbahasa jawa yang terbit di Jogja sejak 1 Juni 1971, disamping Jayabaya dan Panjebar Semangat yang terbit di Jawa Timur. Majalah bertiras 10.000 eks ini tetap sentosa kala media sejenis gulung tikar. Jangan kaget bila tak ada satupun iklan bertengger. Djaka Lodhang tetap pédé tanpa pengiklan karena captive market menunggu sang Jejaka Sambang. Salah satu rubriknya, Jagading Lelembut, menjadi legendaris berkat konsistensinya menghadirkan cerita hantu yang selalu bisa menjadi amunisi obrolan di gardu ronda saat semua topik lain sudah terbahas habis.

E : Ekalaya
Dalam wayang Jawa yang mendulang inspirasi dari epik Mahabarata, Ekalaya hanyalah tokoh pinggiran. Dia sempat jadi penting karena kebesaran musuh yang dihadapinya: ksatria paling tampan yang selalu menang dalam setiap pertempuran. Siapa lagi kalau bukan Arjuna. Nah, ceritanya bermula saat Ekalaya gagal berguru kepada Maharesi Durnacharya akibat status kastanya. Tak putus asa, Ekalaya melakukan terobosan edukasi. Ia memasang patung Durnacharya, lalu berlatih memanah di bawah supervisi sang guru yang "cuma" sebongkah patung semata. Ekalaya pun menjadi pemanah yang sangat mahir, tapi cerita belum berakhir. Anak panahnya teramat jitu hingga Arjuna cenburu. Lalu murkalah Durnacharya. Entah akibat murid kesayangannya tersaingi, atau karena citraan dirinya direproduksi tanpa permisi. Ekalaya pun harus kehilangan jempol tangan. Bersama itu, lenyap juga segala kepiawaian jagoan panah berkasta rendah ini. (Dalam varian Jawa yang hampir selalu memihak Arjuna: musnah pula seluruh raga dan kejumawaan Ekalaya).

F : Festival
Jogja adalah kota beragam festival. Dari Festival Kesenian Yogyakarta yang digelar tahunan sampai festival buku yang nyaris ada tiap bulan. Dari festival layang-layang di Parangtritis sampai festival Bekakak di Ambar Ketawang. Dari festival gamelan yang syahdu sampai festival musik underground yang hingar-bingar. Dari festival otomotif yang serba canggih sampai festival perkutut yang serba kutut. Dari festival putri kecantikan sampai festival anjing kesayangan. Tapi kalau ada rombongan sepeda motor berjalan pelan beriring-iringan tiap pagi dan petang, itu bukan festival tapi kemacetan.

G : Gudheg
Halah...Gudheg lagi, gudheg lagi...wis podho ngerti...

H : Hompimpa(h)
Dalam hompimpa(h), yang ada hanya dua kemungkinan: telungkup atau tengadah, tertutup atau terbuka. Hitam atau putih, ya atau tidak. Inilah momen pembelajaran bagi anak-anak Jogja agar bisa bersikap jelas dan tegas. Cepat dan lugas. Siapa tahu kelak jadi presiden. Dalam hompimpa(h), tak ada posisi in between, tak boleh sok bijak merangkum dua kutub yang berseberangan, tak bisa negosiasi berkepanjangan. Tak bisa pula berlindung dibalik semboyan masyhur para leluhur, ngono ya ngono ning aja ngono (silakan begitu asal jangan begitu). Dalam hompimpa(h) tak boleh ada area abu-abu. Tak perlu selalu ragu. Satu-satunya yang boleh diragukan adalah keraguan itu sendiri.

I : Iwak pitik
Iwak berarti ikan. Iwak bandeng berarti ikan bandeng. Tapi iwak juga bisa bermakna daging. Jadi ada iwak sapi (daging sapi, bukan ikan sapi) atau iwak pitik (daging ayam, bukan ikan ayam). Perhatikan juga pelafalan kata pitik. Bahasa Jawa versi Banyumasan mengucap "pitik" dengan kedua"i" seperti pada "ini ibu Budi". Bahasa Jawa versi Jawa Timuran melafal "pitik" sebagai "péték" dengan kedua "i" menjadi "é" seperti "café sore-sore". Nah, lidah Jogja, as always, berusaha berada di tengah keduanya. Jadilah, piték.

J : Jakal, Jaim
Anak muda JOgja kerap membangun konstruksi istilah baru untuk meringkas nama-nama tempat di Jogja. Program radio lokal mengembangbiakkan gejala itu saat penyiar menyebut identitas seseorang di suatu tempat yang kirim lagu atau salam kepada koleganya di tempat lain. Kalau terdengar di radiomu, "Dari someone di Jakal, untuk somebody di Jamal", maka, 'jakal' = Jalan Kaliurang, dan 'jamal' = Jalan Magelang. Masih ada lagi 'jaim' untuk Jalan Imogiri, 'jaban' untuk Jalan Bantul, dan 'jarawat' untuk Jalan Raya Wates. Jangan bingung.

K : Klepon
Inilah salah satu dangerous cake di Jogja. Pada klepon, konstruksi bola dari tepung ketan dengan magma gula cair di dalamnya mudah meletus saat kulit bola tercabik gigi. Erupsi itu akan menyemburkan gula seperti lava kemana-mana dan menodai apa-apa. Cara termudah meredamnya adalah meniadakan peran gigi seri, lalu meledakkan klepon dengan terlebih dahulu memerangkapnya dalam rongga mulut. Cairan gula segera menggenangi lidah dan langit-langit - bayangkanlah seperti caramel cream yang meleleh lembut saat kita mengulum coklat Belgia. Teman klepon yang juga eksplosif adalah cemplon. Gigi seri perlu bekerja ekstra hati-hati saat menjinakkannya. Sebab dibanding klepon, kulit cemplon lebih keras. Diameter bolanya pun lebih besar. Memasukkan cemplon sekaligus ke dalam rongga mulut hanya dapat dilakukan oleh orang yang besar mulut - dalam arti sesungguhnya.

L : Lurik
Sebagai motif garis, lurik ada dimana-mana. Bahkan para sais kereta kuda pada prosesi pemakaman Pangeran Bernhard suami Ratu Juliana pun berseragam lurik, persis kostum upacara prajurit Keraton Jogja. Beberapa dekade lalu, lurik sempat jadi dress code wisatawan yang mengunjungi kota ini. Pernah juga jadi baju para seniman, mungkin agar berkesan "nyeni" dan "kontekstual". Dalam bentuk yang bold, lurik malah muncul di lapangan sepakbola sebagai seragam yang digemari terutama oleh tim-tim Amerika Latin dan Eropa Selatan. Lurik vertikal dipakai timnas Argentina dan Paraguay, juga Juventus, AC Milan, Internazionale, hingga Barca. Lurik horizontal punya lebih sedikit penggemar. Glasgow Celtics salah satunya. Juga Gerombolan Si Berat. (Yang terakhir ini tentu bukan tim sepakbola, karena bola mereka terbuat dari besi dan sulit disepak akibat dirantaikan ke kaki).

M : Mbélgédhés
Mbélgédhés adalah oposisi yang perkasa. Kadang ia diucapkan sebagai mbél saja. Sepotong kata yang terdiri atas hanya empat huruf ini bisa diujarkan dengan teriak ataupun gumam. Biasanya diikuti gerak tubuh dan sikap mental melengos. Maknanya sama; mosi tidak percaya terhadap tuturan lawan bicara. Maka berjuta kata mutiara dalam seuntai rayuan, beribu fakta dan fiksi dalam deskripsi atau narasi, berbagai teori yang dikonstruksikan dalam argumentasi, dapat runtuh tak berdaya seketika itu juga oleh satu kata: Mbél.

N : Ng_genjot
Nggenjot punya teman namanya ngonthel yang masih tetangga dengan ngawil atau ngosek. Nyengklak juga berkerabat dengan nyadhel. Ini semua kosakata bersepeda di Jogja. Gorys Keraf, pakar bahasa, menyebut fenomena kebahasaan semacam itu sebagai nasalisasi, perubahan bentuk fonem. Bahasa Jawa getol mengadaptasi pemikiran ini ke dalam ragam kosakatanya. Hasilnya segala lema dinasalisasi. Dari nyabut (kata dasar cabut) sampai nyetting (kata dasar setting). Dari nggenjot (kata dasar genjot) hingga nggrafis (kata dasar grafis). Format dan fotoshop juga ikut diserap dan dinasalkan menjadi mormat dan motoshop. Tak heran Bahasa Jawa benar-benar kaya ragam. Segala lema asing diharmoniskan via nasalisasi. Jadi tak perlu bingung mencari kata kerja dari sebuah tindakan dalam Bahasa Jawa. Cukup dinasalkan dan jadilah kosakata baru. Jangan heran kalau orang Jogja punya hobi baru: nglesot sambil nglaptop.

O : Oseng-oseng Mercon
Walau sama-sama bisa memicu kegaduhan, mercon yang satu ini tidak bakal dirazia aparat. Barangkali justru sebagian tukang razia adalah pelanggan setianya. Bagaimana tidak, oseng-oseng mercon adalah sebutan untuk makanan berkomposisi potongan kecil-kecil kikil sapi berbalur bumbu merah merekah dari pelbagai rempah yang nikmat, tapi pedasnya minta ampun dahsyaaat...!! Sepiring nasi yang menemaninya lebih didayagunakan sebagai peredam rasa pedas, sehingga menandaskan seporsi oseng-oseng hardcore ini dengan cukup sepiring nasi adalah sebuah prestasi. Sejak potongan kikil pertama masuk rongga mulut, terjadilah suspend thriller penuh aksi ledakan, suara riuh rendah kepedasan dan peluh masif bercucuran. Sebuah point of no return yang padat jebakan, membuat ketagihan dan berlanjut terus tidak kuasa dihentikan kecuali suapan terakhir tertunaikan. Setelah itu jangan lega dulu, bagi yang tidak punya perut baja segera siagakan kakusmu. Boleh jadi ledakan yang lebih gegap-gempita masih bersambung disitu...

P : Permata
"Tahu Permata?" Jangan sampai bilang tidak atau terlihat tulalit tatkala ditanya macam itu. Tak bisa mengaku anak gaul Jogja kalau tak tahu bioskop Permata. Tapi itu dulu, waktu tv hitam putih pun belum banyak yang punya dan tontonannya cuma TVRI. Pada era 70-an, bioskop di bilangan Sultan Agung ini menjadi jujugan muda-mudi Jogja untuk menghabiskan waktu luang. Menonton film di Bioskop Permata merupakan prestise tersendiri, apalagi waktu extra show jam 2 siang. Penontonnya selalu penuh sampai tak kebagian tiket. Calo tiket panen untung. Tak heran bukti tiket masuk bioskop dijadikan kenang-kenangan dan disimpan. Kini, Permata bertahan di tengah gempuran rental vcd dan konglomerasi 21 bak David melawan goliath. Berbekal film kelas B dan C, Permata menawarkan pengalaman nonton yang tak bakal ditemui di bioskop mainstream macam 21. Berbekal selembar lima ribuan, tiket Permata sudah di genggaman. Tak perlu antri untuk merasakan suasana menonton bioskop era 70-an. Jadi, tunggu apa lagi?

Q : Q Hajar Dewantara
Ini versi gaulnya. Versi aslinya tetap Ki Hajar Dewantara. Sebenarnya itu pun nama gelar karena nama aslinya adalah R.M. Suwardi Suryaningrat, cucu Sri Paku Alam III. Dialah tokoh pendidikan tiada tara, pendiri sekolah Taman Siswa pada tahun 1922 di Yogyakarta yang berkembang ke seluruh Indonesia. Dia pula perumus formula canggih yang mencerahkan bangsa: ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan), ing madya mangun karsa (di tengah membangun prakarsa), tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan).

R : Roro Kidul
Konon, kala Panembahan Senopati merenung di pantai selatan, datanglah Kanjeng Ratu Kidul. Rupanya Sang Ratu kesengsem dengan meditasi raja Mataram ini. Lantas, diajaklah Senopati ke istana bawah air. Setelah asyik tiga hari-tiga malam, Senopati muncul dari pantai Parang Kusumo, Jogja. Sejak saat itu, menurut gosip gaib, Sang Ratu berhubungan erat dengan keturunan Senopati. Masih banyak lagi versi asal-usul Nyi Roro Kidul. Di Jogja, mitos penguasa pantai selatan Jawa ini diapresiasi lewat upacara labuhan dan pementasan tari bedhaya yang konon magis abis. Ada juga mitos pantangan memakai baju hijau ke pantai selatan agar tak terbawa ombak lantaran Sang Ratu penggemar warna hijau. Meski dikenal sebagai fans berat geng hijau, sang Ratu tidak berafiliasi dengan salah satu parpol yang didominasi warna hijau. Tak percaya? Namanya juga mitos.

S : Selokan Mataram
Selokan Mataram selain dimaknai sebagai kanal irigasi yang telah berpuluh tahun menghidupi ribuan hektar sawah di Jogja, juga bentuk siasat jitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX melindungi rakyatnya dari kekejaman Jepang. Ketimbang rakyat Jogja di-romusha-kan, Sri Sultan duluan memanfaatkan tenaga mereka untuk membangun 30 km selokan membelah wilayahnya. Rakyat bebas dari kerja paksa, dapat bonus saluran irigasi untuk mengairi sawah-sawahnya. Jepang pun mati gaya. Selokan Mataram membelah Jogja dari Sungai Progo di barat sampai Sungai Opak di timur. Secara canggih selokan ini menyeberangi beberapa sungai, melangkah di atasnya atau menyusup di bawahnya, semata memanfaatkan hukum fluida bergerak. Selokan ini menembus area persawahan, perkebunan, kos-kosan, kampung-kampung, kampus-kampus (UGM, UNY, STIE YKPN, UPN Babarsari dan Atmajaya), distro dan kafe, real estat, hotel-hotel jaringan internasional, sampai candi-candi kecil di sekujur Kalasan dalam hening dan takzim.

T : Turis
Setiap musim liburan seperti Lebaran, Natal, tahun baru, kenaikan kelas bahkan long-weekend yang hanya 3-4 hari, Jogja bisa tiba-tiba dipadati pelancong. Mobil-mobil dengan plat luar kota menyesaki obyek-obyek wisata di seantero Jogja. Tercatat lebih dari 830.000 pelancong nusantara mengunjungi Jogja tahun lalu. Pelancong mancanegara, 78.000 orang, tinggal lebih lama ketimbang pelancong nusantara sendiri. Kebanyakan mereka berasal dari Belanda dan Jepang.

U : Universitas
Jogja memang kota pendidikan. Lebih dari 120 Perguruan Tinggi ada di Jogja, belum termasuk ratusan lembaga non formal dan pelatihan kerja. Dari world class university sampai perguruan tinggi kelas teri. Maklum saja, tak perlu gedung tinggi-tinggi untuk mendirikan perguruan tinggi. Ruko bertingkat dua pun jadi. Asal promosi tak kalah dengan universitas yang sudah mumpuni.

V : Volcano
Saat di Jogja lemparkan pandangmu ke utara. Tampak satu gunung berpucuk keperakan yang kerap mengepulkan asap. "Tapi manakah arah utara di Jogja?", begitu mungkin pertanyaan mereka yang tidak terbiasa mengidentifikasi arah mata angin. Nah jawabnya, di mana gunung tadi bertahta di situlah utara berada. Dengan gunung = utara dan laut = selatan, orang Jogja terbiasa orientatif. Gunung setinggi 2968 meter inilah si Merapi yang legendaris. Merapi yang penuh pesona tapi intimidatif memang tak lepas dari 2 'm' lainnya yaitu magis dam Maridjan. Secara magis, eksistensinya lekat dengan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat serta Laut Selatan. Sosok sang juru kunci Merapi, the highlander Mbah Maridjan, pun menambah daya tarik gunung yang tergolong teraktif di dunia ini.

W : Wedangan Wifi
Dulu wedang tak lengkap tanpa gorengan, kini wedang kurang yahud tanpa hotspot. Berselancar gratis di dunia maya sembari menyeruput wedang jadi hobi baru di Jogja. Jangan kaget melihat sekelompok anak muda sedang berhotspot ria sambil makan nasi kucing di angkringan. Layanan wireless fidelity (wi-fi) a.k.a hotspot kini tersedia di banyak kedai inklusif macam angkringan. Segelas wedang nasgitel seribu rupiah sudah bisa jadi prasyarat menikmati fasilitas hot-spot sesukanya. Batasannya adalah rasa sungkan dengan sang penjual. Namun, jangan keasikan berselancar lantas tak berinteraksi dengan orang sekitar. Apalagi lupa membayar...

X : X-code
Ini bukan koefisien rumus vektor ala fisika kuantum. Bukan pula manuskrip ideologi terlarang berkode X. Apalagi film biru seri 3gp mahasiswa berjudul Code. Dalam lema ini "X" dibaca "kali", yang dalam bahasa Jawa berarti sungai. Kota lama Jogja memang terletak di antara dua sungai, X-Code dan X-Winongo. Bagi masyarakat Jogja, Code tak sekedar muara hajat hidup orang banyak tetapi juga ruang publik yang mesti dijaga. Setiap tahun, penduduk d sepanjang ruas Code menggelar Merti Code untuk merawat sungai. Romo Mangunwijaya pun mengabdikan diri membenahi permukiman 5500 keluarga di bantaran Code. Bayangkan jikalau X-Code bebas sampah dan mengalir lancar. Aliran sungai yang bening tapi tak deras membawa kita bersampan menyusuri eloknya Jogja bak di Venesia.

Y : Yowis
Francis Bacon (1561-1626) berkata, "Hope is a good breakfast, but it is a bad supper". Sebuah harapan memang perlu tindak lanjut. Orang Jogja punya dua kata yang bermiripan bunyi untuk menggambarkan ujung sebuah harapan. Yang satu diambil dari bahasa Inggris, dipakai jika sukses: As you wish. Kalau gagal? Muncullah kata kedua, khas orang Jogja yang biasa bersikap legowo menerima segala sesuatunya: Ah, yo wiiiis...

Z : Zulit
Zudah zelezai. Zampai zini zaja. Zuwun. Zalam.

Semoga memberi wawasan lebih mengenai Jogja.....
Jadi...kapan ke Jogja lagi????

Djokdja Institute of Holiday: everyday is Sunday in Djokdja

Pada Holy Day, orang-orang pergi ziarah.

Pada holiday, mau pergi atau tidak, terserahlah.......

Holiday alias hari libur adalah hari merdeka. Pada hari itu tersedia kemerdekaan untuk memilih do something, do anything, atau bahkan do nothing. Sedini tahun 314 Masehi, Kaisar Konstantin sudah menerbitkan dekrit larangan bekerja pada Dies Soli alias hari Minggu atau Sunday. “Untuk keagungan hari Sang Surya,” ujar Tuan Kaisar. Dekrit itu pun kemudian berlaku bagi warga kota dari hampir semua profesi kecuali para petani - yang gandum dan sapi-sapi mereka biasa menjalani hidup tanpa peduli nama-nama hari. Libur pernah menjadi sepuluh hari sekali di Prancis. Segera setelah revolusi, kaum Republikan mengintroduksikan siklus desimal yang berbasis sepuluh. Panjang satu tahun memang tetap sama, banyaknya bulan pun tak berbeda. Tapi satu jam dianggap seratus menit, seminggu jadi sepuluh hari, sebulan cuma berisi tiga minggu. Alhasil, libur pun cuma tiga hari dalam sebulan, walaupun kemudian rapelan diberikan pada sisa hari di akhir tahun. Stalin, pada musim semi 1929, mengadopsi cara Prancis itu sekaligus melenyapkan siklusnya. Pabrik tak punya libur. Buruh punya jatah empat hari kerja, lalu sehari libur, secara bergiliran. Tujuannya: meningkatkan produktivitas. Maka ayah, ibu dan anggota keluarga yang bekerja tak pernah libur bersamaan. Dewan direksi pun hampir tak mungkin rapat pleno karena selalu ada personel yang sedang pakansi. Bank dan sekolah jadi ribet mengatur jadwal. Bisa diduga, cara ini tak berlangsung lama. Almanak Stalin hanya berlaku 9 tahun, lebih cepat usang ketimbang kalender Prancis yang bertahan 15 tahun. Kaum Bolshevik, seperti halnya Bonaparte, memutuskan kembali pada kalender Gregorian, yang berlaku umum di dunia sampai saat ini.

Liburan juga datang pada peringatan hari-hari yang secara sekuler dianggap penting. Hari kemerdekaan, hari pahlawan, hari buruh, hari ibu, hari anak, dan banyak lagi hari bisa ditetapkan oleh penguasa lokal untuk menjadi hari libur. Jika liburan semacam ini bersambung dengan libur akhir pekan, jadilah long weekend. Maka peringatan kelahiran George Washington pun digeser menjadi Senin ketiga Februari, dan Columbus Day pada Senin kedua Oktober. Di Indonesia, belakangan ini beberapa libur nasional juga digeser untuk menghasilkan long weekend. Konon katanya, penggeseran ini bisa memacu aktivitas ekonomi liburan, termasuk pariwisata. Tujuan lain barangkali adalah mengeliminasi hari kecepit nasional, yang ditandai dengan bolos informal (tapi kolektif) oleh para pegawai. Aktivitas masyarakat di hari libur juga berubah dari masa ke masa. Aktivitas privat yang bersifat individual marak terutama setelah Inggris menjadi ‘Raja Samudera’, mengambil alih dominasi Spanyol dan Portugis. Saat itu kopi, teh, dan tembakau membanjiri pasar Eropa. Bersama kehadiran buku yang makin murah berkat teknologi mesin cetak, meluangkan waktu liburan di rumah menjadi pilihan yang mengasyikkan bagi khalayak. Lalu televisi datang menyita waktu dan segalanya. Kini, dengan komputer personal dan internet kita bisa sendirian ke mana-mana tanpa harus pergi ke mana-mana.

Sebelum itu, libur lebih bersifat publik. Orang pergi ke taman untuk menikmati pemandangan atau menemani anak bermain. Pelbagai tontonan, sebagian telah berurat-akar sejak zaman prasejarah, seperti teater dan tari, terus memperbarui diri untuk menemani orang-orang menikmati liburan mereka. Format pertunjukan baru pun bermunculan. Sirkus modern manggung perdana di Inggris pada 1768, kemudian menyebar ke Eropa. Opera, yang di tahun-tahun akhir abad XVI dipentaskan di pelataran aristokrat Italia, mencapai puncaknya pada abad ke-19. Jangan lupa, koran Minggu (juga lotere) turut memicu pertumbuhan penonton pacuan kuda dan pertandingan olahraga.

Liburan dan hiburan tampaknya memang tak terpisahkan. Enam belas weekend antara medio Mei hingga awal September biasanya menjadi sasaran waktu bagi Hollywood untuk merilis blockbuster. Tapi yang juga tak terpisahkan adalah; libur dan kerja. Keduanya selalu datang berselang-seling. Percaya bahwa bekerja membawa manfaat dan berlibur itu mudharat, kata Bertrand Russel, adalah gejala menuju nervous breakdown. Tapi terus-terusan libur, ujar George Bernhard Shaw, juga akan jadi neraka. Maka jauh-jauh hari Aristoteles berkata, “Bekerjalah, agar kamu bisa bersantai.” Benarkah? Aristoteles tentu tak mempertimbangkan negeri kita. Bukankah di negeri ini banyak pekerjaan publik dilakukan sambil bersantai-santai? Apa beda hari libur dengan hari kerja tanpa target? Banyak pertanyaan bisa diajukan, tapi tak semua tanya punya jawab.

Nah, di Djokdja Institute of Holiday nikmatilah nyamannya belajar dalam tempo, dinamika, dan kegembiraan sebuah liburan. Inilah cerita tentang sebuah kota pelajar yang punya banyak sekolahan tapi juga punya banyak tempat pelesiran. Tentang sebuah kota dengan banyak hal yang bisa dipelajari, termasuk belajar berhibur dan berlibur. Sebab, banyak orang bilang, kualitas bekerja (mungkin juga kualitas belajar) ditentukan juga oleh kualitas liburannya. Kalau begini, kita bisa membalik Aristoteles: Berliburlah, agar kamu bisa bekerja.

Everyday is Sunday in Djokdja.

Happy holiday


Friday, August 24, 2007

hadap kiri jalan terus


hobi andalan anak kanadian jika ada kamera nganggur...sekalian ngintip massal...